Saturday, 2 January 2016

Selamat Ulang Tahun, Soe Hok Gie


              
Malam yang dingin. Soe, apa kau masih dengan kemeja lusuh yang basah karena keringat? Berjalan dengan cepat, menyusuri gang-gang kumuh. Huh, satu jam aku menunggu di sini. Di teras rumahmu. Kau tahu? Tentu kau tidak akan tahu, karena aku bukan siapa-siapamu. Yah, aku hanyalah orang yang biasa kau panggil dengan sebutan perempuan. 

Mendung, angin membawa aroma tanah yang sejuk. Sebentar lagi hujan, dan kau belum sampai juga. Sedari tadi aku pun tak berhenti mondar-mandir, celingukkan menatap ujung gang. Tapi tak kunjung melihat siluet tubuhmu.

Soe, aku sudah tak sabar ingin memberikan kejutan ini untukmu.

Apa sih yang kau lakukan di kampus? Berorasi dengan organisasimu? Atau sedang sibuk tertawa riang bersama Maria dan Ira? Ah, tidak mungkin! Aku tahu kau bukan tipe lelaki seperti itu. Kau pasti sedang berdiskusi, mempersiapkan ide-ide gilamu.

“Hey, perempuan! Untuk apa kau di sini?”

“Soe, tentu saja aku menunggumu.” Kataku begitu riang, menyambutnya pulang.

Oh lihatlah dirimu, wajahmu kusut. Tapi kau tetap terlihat mempesona. Aku bahkan tak bisa berhenti menatapmu sembari tersenyum manis.

“Kenapa baru pulang?”

“Kenapa kau bertanya seperti itu? Kau bukan istriku.” Jawabnya begitu ketus.

“Hhuuu, ya ya. Tapi aku menunggumu. Apa kau ingat ini hari apa?”

Soe, hanya diam. Bingung menatapku. Tangannya sibuk melepaskan sepatunya.

“Selamat ulang tahun, Soe.” Kataku begitu semangat sembari menyodorkan sebuah kotak kecil, berisi kado spesial untuknya.

“Hahahah, jadi kau menungguku hanya untuk ini?” katanya dengan ekspresi wajah yang sedikit geli.

“Kenapa? Ada yang salah?”

“Tidak, terima kasih.” Katanya, wajahnya kembali datar setelah sedikit senyuman sempat menghiasi wajahnya.

Kami duduk berdua di kursi teras. Soe, sibuk membuka kado yang kuberikan. Senyum kecil menghiasi bibirnya. Terlihat sekali jika ia menyukai kadonya, hanya saja ia tidak mengungkapkannya. Aku tahu bagaimana, Soe. Ia adalah orang yang tak pernah bisa mengekspresikan perasaannya.

Malam yang indah, bagiku. Menatap diammu, menelusuri jejak-jejak senyum manismu. Soe, andai kau mengerti apa itu cinta dan kau mau sedikit saja untuk tidak egois dengan logikamu. Aku yakin hari ini kau akan menjadi lelaki manisku. Kau pasti akan menghabiskan tawamu bersamaku. Menikmati dinginnya hujan yang sedikit demi sedikit mulai turun. Bahkan ini terlihat begitu romantis.  

Tak bisakah sebentar saja letakkan pikiran beratmu tentang negeri ini? Satu menit saja, Soe!

“Hey, perempuan. Kenapa kau diam?” katanya mengejutkanku yang tengah melamun.

“Soe, apa pemikiranmu tentang cinta masih sama?”

“Tentu saja. Aku tidak tahu apa itu cinta, bagiku itu hanyalah nafsu.”

“Lalu, apa kau mau selamanya hidup tanpa cinta?”

“Tentu saja tidak.”

“Nah, kalau ada yang cinta denganmu apa kau akan menerimanya?”

“Siapa?”

Matanya bulat sempurna menatapku. Aku malah salah tingkah. Rasanya jantungku berdebar tak karuan. 
Aku diam, tidak menjawab.

“Kau tahu mimpiku `kan?” tanyanya masih dengan tatapan hangatnya.

Tentu saja aku tahu. Mimpinya yang terbesar adalah ia ingin mahasiswa Indonesia berkembang menjadi manusia-manusia yang biasa. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.

Ia ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya mereka mengambil keputusan tentunya harus mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.

Soe selalu bilang, bahwa masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun ketika datang adik-adik dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa payah, dan Soe sangat tidak suka akan hal itu.

“Iya, aku tahu Soe. Lantas apakah kau tak ingin mengecap rasa manis dari cinta. Ya anggap saja itu . . .”

“Ya, aku tahu apa maksudmu. Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan, dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan. Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda. Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai itu. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurdlah hidup kita.”

“Heheh, tapi aku tak pernah melihatmu pernah memiliki rasa itu, Soe. Apa itu berarti hidupmu sudah absurd?”

“Enak saja! Aku manusia, pastilah pernah merasakan itu.” Katanya sembari meninju pelan lenganku.
Aku tersenyum melihat ekspresinya. Soe menundukkan wajah. Kembali sibuk melepas sepatunya yang sebelah.

“Soe, bukankah apa yang kau lakukan ini tidak akan memberikan keuntungan apapun untuk dirimu? Kau berjuang demi keadilan, demi rakyat yang ditindas. Kau berani bersuara dan mempertaruhkan ide-ide gilamu, bahkan tak jarang mereka semua menganggap kau pemberontak. Tapi kau tetap tak dapat apa-apa `kan?”

Soe menarik napas. Bersiap menjawab pertanyaanku. Matanya menatapku serius.

“Aku tahu, tapi sekarang aku berpikir sampai di mana seseorang masih tetap wajar, walau ia sendiri tidak mendapatkan apa-apa. Seseorang mau berkorban buat sesuatu, katakanlah, ide-ide, agama, politik atau pacarnya. Tapi dapatkah ia berkorban buat tidak apa-apa?” Katanya membuatku makin terpesona.

“Lalu, bagaimana dengan pikiran dan hatimu. Pasti berat `kan, memikirkan segala permasalahan yang begitu kusut?”

“Dunia ini adalah dunia yang aneh. Dunia yang hijau tapi lucu. Dunia yang kotor tapi indah. Mungkin karena itulah aku telah jatuh cinta dengan kehidupan. Dan aku akan mengisinya, membuat mimpi-mimpi yang indah dan membius diriku dalam segala-galanya. Semua dengan kesadaran. Setelah itu hati rasanya menjadi lega.” Jawabnya sembari tersenyum.

“Waow! Kau begitu mengagumkan, Soe. Logikamu Sexy.” Aku tersenyum lebar menatap wajah tampannya.

Bincang malam yang benar-benar menyenangkan. Rasanya itulah kali pertama kami bicara panjang lebar. Aku pun bebas mengupas pemikiran hebatnya. Soe, aku makin mengagumimu. Dan bolehkah juga aku mencintaimu? Hmm, rasanya itu tidak mungkin!

“Oh iya, kau pernah bilang tentang kata-kata dari seorang Filsuf Yunani. Kalau tidak salah, nasib terbaik . . . emm . . .”

“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua.” Katanya dengan mantap.

“Ah, iya. Heheh, bagiku seorang sepertimu tidak pantas mati muda. Indonesia bisa berduka kalau kehilangan orang hebat seperti dirimu. Termasuk juga aku.”

“Kenapa kau juga?”

“Ya karena aku . . .”

“Jangan bilang kau suka padaku?”

“Huuu, itu kau sudah tahu.”

“Hahahah, lupakan saja. Aku tidak bisa.”

“Kenapa? Apa aku kurang cantik? Atau kurang pintar?”

Soe, tertawa terbahak-bahak. Baru pertama kali aku melihatnya tertawa seperti itu ketika bersamaku.

*****

Hujan semakin deras mengguyur nostalgiaku. Kau lihat ribuan bulir hujan yang menghujam itu, Soe? Bagiku kau sama sepertinya. Dingin dan membekukan hatiku. Soe, aku kangen tawamu itu. Aku kangen melihat diammu, aku kangen segala yang ada pada dirimu. Logika indahmu, semua sudah tak ada. Hanya tersisa kenangan manis dan bekas pemikiran hebatmu. Siapa yang akan teruskan? Tak ada yang bisa sepertimu!

Soe, malam itu kini sudah berlalu 46 tahun. Tapi kenangan itu masih terasa baru saja terjadi. Seiring jalan hidupku, tanpamu, aku hanya bisa berdiam menempati sisi gelapnya hatimu. Mungkin juga itu kebenarannya, bahwa cintaku untukmu hanya akan bersemayam dalam ruang hampamu. Andai kau masih di sini, mungkin kau akan menjadi sahabat yang baik untuk anak-anakku, cucu-cucuku dan suamiku.

Betapa lucunya, bahwa dulu aku pun pernah memimpikan bisa hidup bahagia bersamamu. Dan siapa yang menyangka bahwa aku ditakdirkan untuk bersama dengan lelaki yang begitu setia mendampingiku hingga sekarang. Meskipun ia tahu aku teramat mengagumimu, ia bahkan tak pernah bosan mendengar ceritaku tentangmu. Mungkin juga kau terlalu hebat, Soe makanya ia tak berani cemburu padamu. Tapi suamiku pun tak kalah hebatnya denganmu, karena hanya dialah yang bisa memahami hatiku. Itulah yang tak bisa kau lakukan untukku, Soe.

Tak terasa memang benar tentang apa yang selalu kau ucapkan. Makhluk kecil kembalilah, dari tiada ke tiada. Berbahagialah dalam ketiadaanmu. Hari ini, tanggal 16 Desember 2015 aku ucapkan untukmu, “selamat ulang tahun, Soe Hok Gie.”

*****


Monday, 30 November 2015

Panggil Aku Sekar 3 -- Ephemera




Minggu pagi yang cerah. Saya pun baru bangun dari tidur yang nyenyak. Bibi Mey terlihat sibuk menjemur pakaian di halaman depan. Saya masih berdiri mengamping di jendela kamar. Suasana di luar ramai. Anak-anak berlarian, sibuk pula membicarakan tentang karnaval di taman kota.
Karnaval?
Sekar, gadis itu biasanya ribut sekali jika mendengar ada acara karnaval. Pasti ia akan memaksa saya untuk menemaninya pergi. Rasanya itu akan jadi hari yang sangat menyebalkan. Mendengar celotehnya yang berbicara tentang segala hal yang berkaitan dengan penampilan, perasaan dan . . . hmm, apalah itu semoga saja ia tidak ingat jika ada acara karnaval hari ini.
Sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan rumah. Si pemilik lantas membuka kaca mobilnya dan membunyikan klakson mobil. Saya pun penasaran, dari mobilnya bisa dilihat kalau pemiliknya pastilah kalangan atas.
“Selamat pagi, Bibi Mey?” sapa seseorang itu dengan ceria lantas bergegas turun dari mobil.
Mata saya langsung melotot kaget.
Sekar? Baru saja saya bicarakan, tiba-tiba ia sudah sampai di rumah saya. Sepertinya suara hati saya pun dapat didengar olehnya. Bibi Mey tersenyum menyambutnya dengan ramah kemudian mempersilakan masuk. 
Saya pun buru-buru keluar dari kamar.
“Hey, kau kenapa datang ke sini lagi?” tanya saya, melotot padanya.
“Wan, sopanlah dengan wanita. Kau ini, kasar sekali!” Bibi Mey mencubit lengan saya.
Sekar tertawa sembari menjulurkan lidahnya ke arah saya yang sedang meringis kesakitan. Apanya yang lucu? Hati saya berkali-kali mengutuknya. Kenapa harus ke sini? Tidak bisakah sekali saja saya tidak usah bertemu dengannya?
“Benar, Wan. Kau dengar `kan apa kata Bibi Mey?” Katanya dengan bangga.
“Bibi tinggal ya, masih banyak pakaian yang harus dijemur.” Kata Bibi beranjak keluar halaman.
Sekar masih saja tersenyum cengengesan.
“Biar pun baru bangun kau tetap terlihat tampan ya, Wan.” Katanya tersenyum manis.
Saya mendesis sebal, masih menatapnya dengan galak.
“Hari ini hari libur. Apa tidak ada jadwal libur untukmu? Kenapa di hari libur seperti ini kau masih saja mengganggu saya?”  protes saya.
“Hehee, hari ini ada karnaval `kan? Ayolah kau cepat mandi, saya ingin mengajakmu jalan-jalan dengan mobil baru saya.”
“Dasar gadis manja. Kau pasti merengek pada Papamu saat minta mobil itu.” Ejek saya.
“Enak saja, itu hadiah dari Papa karena kemarin nilai ujian saya dapat bagus.” Katanya dengan bangga.
“Iyakah?”
“Emm.” Ia mengangguk.
Saya pun bergegas mandi dan bersiap. Biarlah saya turuti apa maunya, karena jika tidak ia pasti akan terus mengganggu saya. Beberapa menit kemudian saya telah siap. Sekar terlihat begitu senang sekali. Kami pun bergegas pamit pada Bibi Mey.
“Kau menyetir sendiri?” tanya saya, ragu.
“Iya, tenang saja saya sudah bisa kok.” Jawabnya meyakinkan saya.
Kami pun segera berangkat menuju taman kota. Perlahan mobilnya melaju dengan perlahan melewati gang-gang kumuh. Di sepanjang jalan saya lebih banyak diam. Sekar masih asyik berbicara ini itu dan berkata begitu senang sekali bisa pergi bersama saya di hari libur.
Empat puluh menit akhirnya kami sampai di taman kota. Ramai sekali. Masyarakat sudah berkumpul dan terlihat begitu antusias. Beberapa peserta karnaval juga sudah terlihat siap untuk memulai acara. Masing-masing menampilkan budaya khas dari daerahnya. Saya sudah keluar dari mobil tapi Sekar tak kunjung keluar.
“Kau lama sekali. Tadi suruh saya cepat-cepat kenapa sekarang kau yang lambat?” kata saya tak sabar.
“Sabarlah, Wan. Saya sedang mencari kaca mata hitam saya. Di mana ya?”
Saya menepuk dahi. Ada-ada saja. Untuk apa pakai kaca mata? `Kan hanya lihat karnaval.
“Aaah ini sudah ketemu.” Katanya, lantas bergegas memakai kaca mata hitamnya.
“Dasar aneh!” kata saya, kemudian bergegas jalan dengan cepat.
“Wan, tunggu saya!”
Sekar begitu girang sekali. Sepanjang jalan pula ia terus bertanya-tanya tentang budaya dan pakaian adat apa saja yang peserta kenakan.
“Wooow keren sekali. Kau lihat, Wan? Mengagumkan.” Katanya sambil loncat-loncat begitu senang.
Ia pun menyuruh saya memotretnya dengan peserta karnaval yang mengenakan pakaian adat daerah. Berkali-kali juga ia bertanya, “apa saya sudah kelihatan cantik, Wan?” Membuat kesal saja karena berkali-kali juga saya dibuatnya batal memotret. 
“Sepertinya Pak Presiden datang ke acara ini. Kau lihat, di sana ada rombongan para ajudannya.” Kata Sekar, lantas memotret suasana tersebut.
Rombongan Presiden lewat, diarak dengan mobil istana. Diikuti pasukan berkuda dan para penjaga keamanan. Saya dan Sekar berada di barisan paling depan di antara kerumunan masyarakat, jadi bisa melihat dengan jelas. Masyarakat begitu antusias menyapa dan membalas lambaian tangan Presiden. Riuh tepuk tangan pun menwarnai ramainya karnaval. Saya hanya diam, mengamati.
Acara yang sangat meriah. Tawa terlukis di masing-masing wajah, kecuali saya. Sekar masih asyik memotret, tiba-tiba saja seseorang menyapanya. Lelaki dengan kumis tebal dan berbadan gagah. Mengenakan stelan jas hitam yang terlihat mahal.
“Sekar ya?” tanyanya, ragu.
“Om Hendratmo? Wah, lama sekali kita tak jumpa.” Katanya begitu heboh.
“Iya, tadi Om lihat sepertinya kau. Tapi tadi juga takut salah orang. Oh iya, bagaimana kabar Papamu? Wah, sekarang kau sudah besar ya, dulu terakhir ketemu kau masih SMP.”
“Hehe iya, Om. Papa baik-baik saja. Om sih pindah ke luar kota, jadi sudah tak pernah lagi main ke rumah.” Katanya makin akrab.
“Maaf soal itu. Tapi sekarang Om sudah di Jakarta lagi, jadi bisalah kapan-kapan main ke rumah. Oh iya, kau dengan siapa ke sini?” katanya sembari melirik sinis pada saya.
“Ini dengan teman Sekar. Kenalkan, Om. Namanya Awan.” Katanya sembari menarik tangan saya.
“Ooh, Om pikir lelaki yang di sampingmu ini pacarmu. Tapi mana mungkin juga gadis cantik sepertimu punya selera seperti ini.” Katanya dengan senyum mengejek.
Sekar menatap saya kasihan, merasa tidak enak. Kami pun saling diam sejenak. Saya hanya cuek.
“Om sekarang masih bekerja di bisnis kayu?” tanya Sekar mencairkan kekakuan.
“Bisnis itu Om serahkan pada anak buah. Sekarang Om sibuk jadi anggota DPR.” Katanya dengan bangga.
“Waah, Om hebat sekali ya.”
“Oh iya Sekar. Om masih banyak urusan, jadi lain kali saja kita bertemu lagi ya. Kapan-kapan Om akan main ke rumah. Salam buat Papamu.” Katanya, lantas bergegas meninggalkan kami berdua.
Hingga acara karnaval usai kami masih saling diam. Sekar juga tidak lagi cerewet. Hari makin siang, panas cukup terik. Kami pun bergegas pulang.
Di dalam mobil, Sekar memulai pembicaraan.
“Maaf soal tadi, Wan.” Katanya lirih.
“Apa? Lagi pula perkataannya benar. Harusnya kau yang merasa malu. Orang lain saja memandang kau aneh jika mau jalan dengan saya. Tapi kau justru senang sekali jalan dengan saya.”
“Jangan bilang seperti itu, Wan. Mereka hanya tidak tahu bagaimana kau yang sebenarnya. Bagi saya, Awan adalah lelaki yang hebat.”
“Kau keras kepala sekali!”
Sekar tersenyum menatap saya. Kami pun saling diam lagi. Hening beberapa saat. Dan sesekali saling pandang.
“Tadi itu siapa?” tanya saya penasaran.
“Om Hendratmo, rekan bisnis Papa dulu. Saya akrab dengannya waktu kecil. Baik sekali orangnya.”
“Oooh.” Jawab saya singkat.
Sekar malah tertawa sembari menatap saya.
“Kenapa?”
“Kau tidak cemburu `kan, Wan? Kenapa jawaban kau hanya oh saja? Hahahah.”
“Ah, kau ini jangan berpikiran yang aneh-aneh. Lagi pula itu `kan urusan pribadimu. Jadi untuk apa saya memberikan banyak komentar?”
“Ya ya ya. Tapi terima kasih untuk hari ini ya, Wan.”
Senyum manis dan keceriaan pun menghiasi wajah Sekar hingga ia usai mengantar saya pulang. Hatinya pasti berbunga-bunga.

♠♠♠

Sunday, 29 November 2015

Panggil Saya Sekar 2 -- Ephemera






Tok tok tok, suara orang mengetuk pintu.
“Selamat sore Tante, Awan ada?”
Saya tahu itu suara siapa. Nekad sekali sampai menyusul ke rumah. Saya pun keluar menemuinya, tak enak dengan Bibi Mey. Pikirannya pasti sudah aneh-aneh, karena selama ini saya tak pernah bercerita atau bahkan membawa teman gadis  untuk main ke rumah.
“Kalian bicara saja berdua, biar Bibi buatkan minum.” Kata Bibi Mey begitu ramah lalu berlalu ke dalam.
Senyum gadis itu masih saja cengengesan. Merasa tak punya salah.
“Kau tidak malu datang ke rumah seorang lelaki sendirian?”
“Untuk apa malu? Lagi pula itu salahmu, suruh siapa kau lari begitu melihat saya.” Katanya sambil memanyunkan bibir mungilnya.
“Saya tidak lari. Tadi hanya ada urusan mendadak.”
“Bohong! Memangnya kenapa si, Wan? Kau melihat saya seperti melihat setan saja.”
“Itu karena kau . . .”
“Apa?” katanya memotong pembicaraan. Matanya sempurna menatap saya begitu dekat. Jarak kami bahkan hanya sejengkal saja.
“Silakan diminum.” Bibi Mey tiba-tiba datang mengejutkan kami. Refleks gadis itu pun menjauh dari saya. Senyumnya menyambut Bibi Mey begitu sumringah, sok kenal bahkan begitu ingin akrab. Untung saja Bibi Mey masih banyak pekerjaan, jadi tak perlu lama-lama menanggapi gadis gila ini. 
“Kau hanya tinggal dengan Bibi Mey saja ya, Wan?”
Gadis itu pun mulai mengulik kehidupan pribadi saya. Mungkin baginya penting sekali. Dulu pernah saya bertanya, mengapa ia harus terus mengurusi kehidupan saya. Ia bilang saya begitu berarti untuk dirinya. Yah, saya memang tinggal dengan Bibi Mey saja. Beliaulah yang sudah merawat saya sedari kecil. Ibu saya meninggal ketika  melahirkan saya. Sejak saat itu saya besar atas didikan Ayah. Dan saat usia saya 9  tahun Ayah pun pergi.
Ayah saya dulu seorang jurnalis yang cukup hebat. Namun sayang, kejadian itu membungkam semua karyanya. Ketika subuh baru saja menyingsing dan mulai menyembulkan harapan cerah, saya dan Ayah berangkat ke langgar untuk sholat subuh bersama. Namun baru beberapa langkah kami keluar rumah, dengan posisi Ayah menggandeng tangan saya, tiba-tiba suara ledakan itu terdengar begitu keras. Tembakan itu begitu sadis menembus kepala Ayah. Mengerikan! Beliau jatuh tersungkur berlumur darah tepat di depan mata saya.
Menjerit histeris dan menangis, saya memeluk Ayah. Kata-kata terakhirnya bahkan masih saya ingat. Selalu terngiang di telinga, lirih menyayat hati. “Kau harus jadi orang hebat dan tegakkanlah selalu keadilan.” Begitu yang terdengar, hingga bibirnya mengatup usai membaca dua kalimat Syahadat di sela-sela mautnya.
 Di subuh yang cukup remang itu saya sempat melihat orang yang menembak Ayah. Ia memakai baju serba hitam, seperti seragam khusus. Entah siapa, sayangnya saya tidak terlalu jelas lihat wajahnya. Ketika beranjak dewasa, saya baru mengerti tentang apa yang terjadi. Kata Bibi Mey, Ayah terlalu berani menentang pemerintah. Itu sebabnya beliau dieksekusi.
Tapi jujur, apa yang saya lakukan sekarang bukan karena semata-mata saya punya dendam pada mereka yang sudah membungkam aksi Ayah. Tapi karena saya juga ingin menegakkan keadilan. Negeri ini terlalu banyak sampah, dan kita tak boleh nyerah.  
Sampai sekarang, setiap saya mengikuti apa yang Ayah lakukan dulu. Entah itu menulis, mengkritik, berdemo memimpin ribuan massa, Bibi Mey selalu khawatir. Beliau bilang tak ingin kehilangan saya seperti saat beliau kehilangan Ayah.
Ayah adalah kakak satu-satunya yang beliau miliki. Bibi Mey pun sekarang hidup sendirian. Lima tahun lalu suaminya pergi. Katanya tak betah dengan Bibi Mey yang tak bisa punya keturunan.
Tiap hari juga, dulu saya sering melihat paman memukuli Bibi Mey, tanpa ampun. Pernah sekali saking saya tak tahan dengan kelakuan paman, saya pukul ia. Seenaknya saja pulang dalam keadaan mabuk habis kencan dengan wanita lain, lalu menyiksa Bibi Mey. Tiga hari setelah kejadian itu paman pergi dan tidak pernah kembali lagi hingga sekarang. Tapi saya rasa itu lebih baik, jadi Bibi Mey tak perlu lagi menghadapi kegilaan paman.  
 Gadis itu masih menyimak cerita saya. Matanya berkaca-kaca, menatap saya begitu prihatin.
“Wan, saya tak menyangka kau punya kisah yang begitu menyedihkan.” Katanya sembari mengusap ujung matanya yang berair.
“Kau mendengar cerita saya seperti nonton drama saja. Tak usahlah berlebihan.”
Ia tersenyum sembari membelai wajah saya dengan lembut.
“Wan, saya janji akan terus menjadi orang yang selalu ada untukmu.”
“Kenapa?”
“Karena saya mencintaimu, Wan.” Katanya, lalu mengecup pipi saya.
Malam pun datang membuyarkan semua kekakuan. Hujan juga sudah tidak turun lagi. Saya mengantarnya pulang. Jalan kaki, dan kami terlihat seperti pasangan yang sedang menikmati malam bersama. Menyedihkan, kenapa ia harus seperti itu pada saya? Berlebihan dan saya tak akan bisa balas.
Tiga puluh menit, ia terus berjalan sambil menggandeng lengan saya. Tak berhenti tersenyum. Wajahnya bersinar seperti bintang di langit sana. Hatinya berbunga.
Sesampainya di rumah, ia masih memandang wajah saya begitu senang. Masih dengan posisi tangannya yang terus saja menggandeng lengan saya.
“Masuklah ke dalam dan segeralah tidur!” Kata saya sedikit perhatian.
Ia malah tertawa begitu genit.
“Hahahah, ini baru jam 19.00 Wan, saya belum ngantuk. Kau tak ingin mampir? Biar saya buatkan kopi. Papa pasti senang melihatmu. Papa bahkan selalu memuji tulisan-tulisanmu.”
“Tidak, lain kali saja.”
Ia tersenyum datar, lalu diam sejenak. Mata kami pun saling beradu pandang.
“Wan, bisakah kau panggil nama saya? Selama ini saya tak pernah mendengarmu memanggil nama saya.” Pintanya, membuat saya merasa kasihan.
“Masuklah! Udara di luar dingin, kau bisa sakit.”
“Tidak, sebelum kau panggil nama saya.” Ia berdiri kaku begitu manja, matanya melotot galak pada saya.
“Hmm, baiklah. Selamat malam, Sekar.”
Gadis itu tersenyum begitu riang seperti mendapat kado yang indah dari seorang lelaki.
♠♠♠

(bersambung . . .)

Panggil Saya Sekar 1 -- Ephemera





Biarkan hujan menyapu keresahan,
dan lelapkan akal gila sang pemberontak.
Biarkan ketegaran melukis kebisingan,
dan membelai panas di otak.
Di mana letak kebenaran?
Apakah dekat dengan kebohongan?
Perlukah pula ada tangisan,
bila ingin menempuh impian? 
Saya lelah tapi tak boleh nyerah.
Saya resah tapi tak boleh pasrah.
Saya tak punya nyali tapi harus berani.
Sebentar saja, pinjam bahumu.
Bukan untuk memulai nafsu.
Tapi untuk redakan pilu.
Pengap, sayangnya kau bukan tulangku.
Duduklah di sini sayangku.
Biar kupandang wajahmu,
dan kukecup senyummu.


♠♠♠
  
Panggil Saya, Sekar

Oktober 1997 - Keadilan? Itu adalah bagian dari sebuah mikrokosmos. Tapi kini kebisingan dari suatu kericuhan menyulut tungku api yang mampu membakar emosi. Seperti halnya keadaan saat ini. Cucuran peluh dan guyuran kata-kata seakan tak mampu puaskan dahaga. Seperti berkering air liur. Sampai mulut berbusa atau aksi anarkis terjadi, keadilan tak juga nampak dalam sudut suatu kaum.
Sore ini mulut-mulut masih meracau. Membahas konsep rencana peregerakan tadi pagi. Gagal! Itu yang kami dapat. Aparat terlalu cerdik dan kami kalah. Mungkin lebih tepatnya bukan kalah, hanya mengalah. Bagaimana tidak, usaha mereka untuk membungkam mulut kami pun begitu besar.  Kami dianggap seperti kencing yang perlu diguyur.
Di sudut ruangan Senat, saya masih duduk sembari menulis. Yah, hanya ini yang dapat menghibur. Bising, tapi tidak mengganggu konsentrasi. Di ruang Senat inilah kami melakukan segala aktivitas pergerakan. MPR (Mahasiswa Pembela Rakyat) itu nama organisasi kecil kami.
Sesekali saya melihat keadaan sekitar. Teman-teman yang lain saling berkumpul hingga membentuk beberapa kelompok. Seperti biasa, mata itu masih menatap begitu prihatin ke arah saya. Senyumnya sempurna membuat saya kembali menunduk.
Ah, rasa-rasanya saya terlalu besar kepala!
Hidup adalah pilihan. Ketika kita memilih sesuatu yang menurut kita benar, boleh jadi suatu saat kita akan menangisi apa yang telah kita pilih karena terlanjur sadar bahwa itu adalah salah. Tapi bukankah memang selalu begitu? Sebelum kita menikmati suatu kebenaran, maka kita pun akan mencicipi kesalahan terlebih dahulu. Sebut saja itu proses pembelajaran. Dan hari ini kami belajar tentang semuanya.
“Wan, bagaimana ini? Aspirasi harus tersampaikan, bukan?” seseorang di depan saya terlihat memasang wajah sebal. Tangannya tak henti memukul-mukul meja dengan proposal rencana pergerakan.
Saya diam, lanjut menulis. Benar-benar menyebalkan. Lagi pula saya lelah, tapi ia terus saja ngoyo. Ini waktu istirahat. Bukankah esok masih ada waktu? Banyak ide yang bisa kita hasilkan lagi. Hari ini boleh saja gagal, tapi esok pasti akan lebih dahsyat.
“Wan, saya bicara denganmu!” katanya, lalu jongkok di depan saya.
Saya mendongak, menatap wajah lusuhnya yang masih penuh emosi, kemudian saya jitak kepalanya. Ia mengaduh sakit.
Berhentilah meracau, berpikirlah dengan kepala dingin!”
Ia diam, memegangi kepalanya. Saya tahu semua kecewa. Tapi untuk apa kita berpikir dengan otak yang masih panas? Sedangkan, ide terbaik dihasilkan dari pikiran yang jernih. Kita pasti bisa.
“Kau lapar, makanya terus meracau.”
“Heheheh, dari mana kau tahu, Wan?” katanya sembari melirik begitu genit pada saya.
“Berhenti menatap saya seperti itu. Ayo ikut!”
Saya berjalan keluar dari ruang Senat. Ia pun mempercepat langkah, mengekor pada saya. Sore yang gaduh. Tapi wajah-wajah sudah kembali sumringah. Mahasiswa dan mahasiswi pun sudah pada bersiap pulang. Beberapa terlihat sibuk bercanda dengan teman-temannya.
Teman?
Kesendirian adalah teman yang paling setia. Selama ini saya tak pernah punya teman yang dekat. Kalau pun ada hanyalah teman biasa, seperti seseorang yang sedang berjalan di belakang saya. Namanya Edi. Kami satu kelas di Fakultas Sastra. Ia menjabat sebagai koordinator pergerakan dalam MPR.
Aktif, setia kawan, dan terkadang gila. Tapi jika sudah dihadapkan dengan makhluk yang bernama wanita, maka diam adalah keahliannya. Ia seperti kerupuk yang dicelup ke dalam air. Lembek! Hanya bisa pasrah jika perempuan menjejal pikirannya dengan perkataan manja dan cinta basa-basi.
Kemarin saya kencan dengan Mira. Menurutmu bagaimana, Wan?
Begitu pertanyaan yang ia ajukan setiap kali sedang dimabuk asmara dengan gadisnya. Ia akan terus berbicara sembari mendesak saya untuk memberikan sebuah komentar. Membingungkan, lagi pula apa hubungan urusan asmaranya dengan saya? Dan perlukah saya tahu kehidupan cintanya?
Cinta?
Daripada membahas cinta, saya justru lebih senang membahas tentang kaum proletar atau sembari menghina kaum kapitalis yang tak juga sadar. Bagaimana bisa kelompok kapitalis seperti itu dibiarkan hidup? Saya benci mereka! Waktu terus saja berlalu, tapi negara tak juga berubah. Malah makin banyak tumbuh kecambah kapitalis borjuis yang culas dan kapitalis birokrat. Lalu apakah proletar akan terus dianggap sebagai parasit yang bisa diinjak dan dibuang?
Hah, saya muak!
Semilir angin berhembus menelisik di sela-sela anak rambut, mengusap gerah. Lagi-lagi senyum itu melintas di hadapan saya. Entah dari mana ia, tiba-tiba saja sudah berdiri menyapa saya dan Edi. Padahal tadi masih duduk dengan kelompoknya di ruangan Senat.
“Wan, saya pulang duluan. Proposal yang kau minta kemarin sudah saya letakkan di meja. Semoga kau tidak keberatan dengan ide yang saya ajukan.”  
“Oh iya, terima kasih.” Kata saya datar.
Senyumnya berlalu meninggalkan saya dan Edi. Ramah, membuat mata enggan berkedip. Langkah kakinya anggun menghitung sepetak demi sepetak lantai.
“Wan, kaku sekali kau jadi lelaki. Harusnya tadi kau berbasa-basi sedikit dengannya.” Kata Edi mengajari saya.
“Diamlah, Ed dan cepatlah jalan!”
            Sampai di sebuah warung makan. Di tenda kecil pinggir jalan dekat dengan gerbang kampus, kami berhenti. Mengisi perut sembari membenahi otak. Edi terlihat begitu senang sekali. Tangannya yang masih kotor pun langsung mencomot beberapa gorengan. Senyum dari penjual terlukis begitu menyenangkan. Sambutan yang ramah untuk calon pembeli. Sepertinya kami pembeli pertamanya.
            Saya duduk dan meletakkan ransel. Berat! Tapi saya suka buku-buku filsafat yang setiap hari memenuhi ransel. Bukan saya sok pintar, atau agar terlihat keren di mata para gadis, tapi buku adalah pacar saya.
            Mendung, langit gelap seperti nasib para proletar negeri. Awan juga kelabu, seperti saya yang terus berkecamuk dengan berbagai masalah. Hari ini rasanya lelah tapi saya belum melakukan apa-apa.
            Saya menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa penat.
Tutup dandang dibuka oleh pemilik warung. Asap pun mengepul. Harum kuah soto tercium begitu menggugah selera. Tangan si penjual begitu cekatan menuangkan soto ke dalam mangkuk. Rasanya perut ini makin keroncongan. Edi masih terlihat sibuk dengan beberapa camilan di hadapannya. Entah sudah berapa yang ia telan.
Akhirnya pesanan siap. Tanpa basa-basi, saya pun segera menyantapnya. Rasanya nikmat sekali, mungkin karena begitu lapar.
            “Wan, bagaimana hubunganmu dengan Sekar?”
Mendadak pertanyaan Edi membuat saya sulit menelan makanan yang tengah saya kunyah. Ada apa? Kenapa mendadak membicarakan gadis itu? Saya diam, tidak menjawab. Melanjutkan kunyahan yang sempat terhenti kemudian menelannya. Edi terus saja berbicara.
“Selain Sekar, sepertinya gadis tadi juga menyukaimu.” Katanya makin ngawur.
Saya masih diam enggan menanggapi. Jalanan sepi. Tak ada kendaraan bermotor atau bus yang lewat. Hanya terdengar suara hujan yang mulai lebat, membuat atap tenda warung sedikit bocor, tidak kuat menampung air. Saya terpaksa bergeser dan lebih merapat ke sebelah Edi. Basah! Angin juga berhembus cukup kencang.
“Tidakkah sebagai lelaki kau peka akan itu, Wan?” Edi berbicara lebih serius.
“Haruskah?”
“Iya, wanita menginginkan pria yang bergerak terlebih dahulu untuk menyatakan cinta.”
“Kau selalu membahas cinta. Saya bosan, Ed.”
“Hey! Manusia butuh cinta, Wan.” Katanya meyakinkan.
Hujan semakin liar menari-nari dengan rintiknya. Dingin, membuat tubuh yang tadinya penuh keringat jadi menggigil. Aroma aspal jalanan yang bercampur dengan bulir air pun seolah menyejukkan. Sebenarnya saya suka jika hujan turun. Cukup begini saja, menikmati dingin. Entahlah, rasanya seperti ada luka yang terobati.
Edi, jika saya tanya tentang apa arti cinta, maka ia akan menjawab, cinta adalah Mira, cinta adalah Ani, dan seterusnya. Aneh! Itu artinya pengertian cinta menurut Edi ada beberapa versi. Jika dalam satu atau dua bulan ia berganti pasangan bisa tiga kali. Maka sudah bisa dipastikan, cinta menurutnya adalah hal yang gila dan sesuatu yang dapat berubah-ubah. Absurd! Seharusnya ia mengartikan bahwa cinta adalah wanita.
Ada satu lagi definisi teraneh menurutnya. Wanita adalah obat kesendirian. Saya rasa otaknya perlu dibenahi.
“Awaaan!”
Dari riuh suara hujan, saya mendengar seorang wanita tengah memanggil nama saya. Ternyata dari seberang gerbang kampus. Ia berlari-lari kecil. Terlihat begitu repot sembari memegangi payung dan tasnya. Ah, sial!
“Ed, saya hutang dulu. Kau yang bayar.”
Saya langsung buru-buru pergi, meninggalkan wajah sumringah Edi yang memudar. Tak peduli hujan akan membuat saya basah kuyup. 
♠♠♠

(bersambung . . .)