Malam yang dingin. Soe, apa kau
masih dengan kemeja lusuh yang basah karena keringat? Berjalan dengan cepat,
menyusuri gang-gang kumuh. Huh, satu jam aku menunggu di sini. Di teras
rumahmu. Kau tahu? Tentu kau tidak akan tahu, karena aku bukan siapa-siapamu.
Yah, aku hanyalah orang yang biasa kau panggil dengan sebutan perempuan.
Mendung, angin membawa aroma tanah
yang sejuk. Sebentar lagi hujan, dan kau belum sampai juga. Sedari tadi aku pun
tak berhenti mondar-mandir, celingukkan menatap ujung gang. Tapi tak kunjung melihat
siluet tubuhmu.
Soe, aku sudah tak sabar ingin memberikan kejutan ini untukmu.
Apa sih yang kau lakukan di kampus? Berorasi dengan organisasimu? Atau sedang sibuk tertawa riang bersama Maria dan Ira? Ah, tidak mungkin! Aku tahu kau bukan tipe lelaki seperti itu. Kau pasti sedang berdiskusi, mempersiapkan ide-ide gilamu.
“Hey, perempuan! Untuk apa kau di sini?”
“Soe, tentu saja aku menunggumu.” Kataku begitu riang, menyambutnya pulang.
Oh lihatlah dirimu, wajahmu kusut. Tapi kau tetap terlihat mempesona. Aku bahkan tak bisa berhenti menatapmu sembari tersenyum manis.
“Kenapa baru pulang?”
“Kenapa kau bertanya seperti itu? Kau bukan istriku.” Jawabnya begitu ketus.
“Hhuuu, ya ya. Tapi aku menunggumu. Apa kau ingat ini hari apa?”
Soe, hanya diam. Bingung menatapku. Tangannya sibuk melepaskan sepatunya.
“Selamat ulang tahun, Soe.” Kataku begitu semangat sembari menyodorkan sebuah kotak kecil, berisi kado spesial untuknya.
“Hahahah, jadi kau menungguku hanya untuk ini?” katanya dengan ekspresi wajah yang sedikit geli.
“Kenapa? Ada yang salah?”
“Tidak, terima kasih.” Katanya, wajahnya kembali datar setelah sedikit senyuman sempat menghiasi wajahnya.
Kami duduk berdua di kursi teras. Soe, sibuk membuka kado yang kuberikan. Senyum kecil menghiasi bibirnya. Terlihat sekali jika ia menyukai kadonya, hanya saja ia tidak mengungkapkannya. Aku tahu bagaimana, Soe. Ia adalah orang yang tak pernah bisa mengekspresikan perasaannya.
Malam yang indah, bagiku. Menatap diammu, menelusuri jejak-jejak senyum manismu. Soe, andai kau mengerti apa itu cinta dan kau mau sedikit saja untuk tidak egois dengan logikamu. Aku yakin hari ini kau akan menjadi lelaki manisku. Kau pasti akan menghabiskan tawamu bersamaku. Menikmati dinginnya hujan yang sedikit demi sedikit mulai turun. Bahkan ini terlihat begitu romantis.
Tak bisakah sebentar saja letakkan pikiran beratmu tentang negeri ini? Satu menit saja, Soe!
“Hey, perempuan. Kenapa kau diam?” katanya mengejutkanku yang tengah melamun.
“Soe, apa pemikiranmu tentang cinta masih sama?”
“Tentu saja. Aku tidak tahu apa itu cinta, bagiku itu hanyalah nafsu.”
“Lalu, apa kau mau selamanya hidup tanpa cinta?”
“Tentu saja tidak.”
“Nah, kalau ada yang cinta denganmu apa kau akan menerimanya?”
“Siapa?”
Matanya bulat sempurna menatapku. Aku malah salah tingkah. Rasanya jantungku berdebar tak karuan.
Aku diam, tidak menjawab.
“Kau tahu mimpiku `kan?” tanyanya masih dengan tatapan hangatnya.
Tentu saja aku tahu. Mimpinya yang terbesar adalah ia ingin mahasiswa Indonesia berkembang menjadi manusia-manusia yang biasa. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.
Ia ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya mereka mengambil keputusan tentunya harus mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.
Soe selalu bilang, bahwa masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun ketika datang adik-adik dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa payah, dan Soe sangat tidak suka akan hal itu.
“Iya, aku tahu Soe. Lantas apakah kau tak ingin mengecap rasa manis dari cinta. Ya anggap saja itu . . .”
“Ya, aku tahu apa maksudmu. Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan, dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan. Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda. Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai itu. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurdlah hidup kita.”
“Heheh, tapi aku tak pernah melihatmu pernah memiliki rasa itu, Soe. Apa itu berarti hidupmu sudah absurd?”
“Enak saja! Aku manusia, pastilah pernah merasakan itu.” Katanya sembari meninju pelan lenganku.
Aku tersenyum
melihat ekspresinya. Soe menundukkan wajah. Kembali sibuk melepas sepatunya
yang sebelah.
“Soe, bukankah apa yang kau lakukan ini tidak akan memberikan keuntungan apapun untuk dirimu? Kau berjuang demi keadilan, demi rakyat yang ditindas. Kau berani bersuara dan mempertaruhkan ide-ide gilamu, bahkan tak jarang mereka semua menganggap kau pemberontak. Tapi kau tetap tak dapat apa-apa `kan?”
Soe menarik napas. Bersiap menjawab pertanyaanku. Matanya menatapku serius.
“Aku tahu, tapi sekarang aku berpikir sampai di mana seseorang masih tetap wajar, walau ia sendiri tidak mendapatkan apa-apa. Seseorang mau berkorban buat sesuatu, katakanlah, ide-ide, agama, politik atau pacarnya. Tapi dapatkah ia berkorban buat tidak apa-apa?” Katanya membuatku makin terpesona.
“Lalu, bagaimana dengan pikiran dan hatimu. Pasti berat `kan, memikirkan segala permasalahan yang begitu kusut?”
“Dunia ini adalah dunia yang aneh. Dunia yang hijau tapi lucu. Dunia yang kotor tapi indah. Mungkin karena itulah aku telah jatuh cinta dengan kehidupan. Dan aku akan mengisinya, membuat mimpi-mimpi yang indah dan membius diriku dalam segala-galanya. Semua dengan kesadaran. Setelah itu hati rasanya menjadi lega.” Jawabnya sembari tersenyum.
“Waow! Kau begitu mengagumkan, Soe. Logikamu Sexy.” Aku tersenyum lebar menatap wajah tampannya.
Bincang malam yang benar-benar menyenangkan. Rasanya itulah kali pertama kami bicara panjang lebar. Aku pun bebas mengupas pemikiran hebatnya. Soe, aku makin mengagumimu. Dan bolehkah juga aku mencintaimu? Hmm, rasanya itu tidak mungkin!
“Oh iya, kau pernah bilang tentang kata-kata dari seorang Filsuf Yunani. Kalau tidak salah, nasib terbaik . . . emm . . .”
“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua.” Katanya dengan mantap.
“Ah, iya. Heheh, bagiku seorang sepertimu tidak pantas mati muda. Indonesia bisa berduka kalau kehilangan orang hebat seperti dirimu. Termasuk juga aku.”
“Kenapa kau juga?”
“Ya karena aku . . .”
“Jangan bilang kau suka padaku?”
“Huuu, itu kau sudah tahu.”
“Hahahah, lupakan saja. Aku tidak bisa.”
“Kenapa? Apa aku kurang cantik? Atau kurang pintar?”
Soe, tertawa terbahak-bahak. Baru pertama kali aku melihatnya tertawa seperti itu ketika bersamaku.
*****
Hujan semakin deras mengguyur nostalgiaku. Kau lihat ribuan bulir hujan yang menghujam itu, Soe? Bagiku kau sama sepertinya. Dingin dan membekukan hatiku. Soe, aku kangen tawamu itu. Aku kangen melihat diammu, aku kangen segala yang ada pada dirimu. Logika indahmu, semua sudah tak ada. Hanya tersisa kenangan manis dan bekas pemikiran hebatmu. Siapa yang akan teruskan? Tak ada yang bisa sepertimu!
Soe, malam itu kini sudah berlalu 46 tahun. Tapi kenangan itu masih terasa baru saja terjadi. Seiring jalan hidupku, tanpamu, aku hanya bisa berdiam menempati sisi gelapnya hatimu. Mungkin juga itu kebenarannya, bahwa cintaku untukmu hanya akan bersemayam dalam ruang hampamu. Andai kau masih di sini, mungkin kau akan menjadi sahabat yang baik untuk anak-anakku, cucu-cucuku dan suamiku.
Betapa lucunya, bahwa dulu aku pun pernah memimpikan bisa hidup bahagia bersamamu. Dan siapa yang menyangka bahwa aku ditakdirkan untuk bersama dengan lelaki yang begitu setia mendampingiku hingga sekarang. Meskipun ia tahu aku teramat mengagumimu, ia bahkan tak pernah bosan mendengar ceritaku tentangmu. Mungkin juga kau terlalu hebat, Soe makanya ia tak berani cemburu padamu. Tapi suamiku pun tak kalah hebatnya denganmu, karena hanya dialah yang bisa memahami hatiku. Itulah yang tak bisa kau lakukan untukku, Soe.
Tak terasa memang benar tentang apa yang selalu kau ucapkan. Makhluk kecil kembalilah, dari tiada ke tiada. Berbahagialah dalam ketiadaanmu. Hari ini, tanggal 16 Desember 2015 aku ucapkan untukmu, “selamat ulang tahun, Soe Hok Gie.”
*****










